Thursday, February 17, 2011

[sayembara naskah qultummedia] Sembilan Tahun Menanti

-->
Sembilan Tahun Menanti
By Dian Onasis

Prolog
Laksana  sebuah godam besar menghentak diriku. Dentuman dasyat datang dari Sang Maha Hakim, Allah yang Maha Adil, di saat berita “perginya” calon putraku yang telah bersemayam 29 minggu dalam rahim ini. Aku tersadarkan, betapa Allah adalah yang paling berhak atas kehidupan calon anak-anakku.
Isak tangis yang hadir di hati, rasanya tak lebih sebagai wujud ego manusia belaka. Aku terhenyak dan menangisi diri akan kepergian salah satu calon anak kembarku tersebut. Aku, seorang perempuan yang telah lama menanti kehadiran anak dalam pernikahan. Sembilan tahun kujalani kehidupan sebagai istri, tanpa memiliki seorang keturunan. Rinduku pada seseorang yang memanggilku “Bunda” telah sampai pada titik pasrah.

Satu Pergi dan Satu Berjuang Untuk Hidup.
Ketika Allah, Sang Maha Penyejuk Hati berkenan menitipkan sepasang janin kembar dalam rahimku, tak tergambarkan ungkapan rasa gembira. Sewaktu dokter menyatakan aku hamil, airmata bahagia menyumur di ujung mataku. Bahkan, di saat dokter menyampaikan berita bahwa aku akan memiliki dua orang anak sekaligus, bahagia dalam hati melompat menembus langit-langit ruang putih rumah sakit. Airmata haruku jebol detik itu juga.
Sebuah berita gembira yang paling nikmat yang pernah kuterima.Tak putus rasa terima kasih pada Allah kupanjatkan. Aku betul-betul menikmati masa-masa kehamilan tersebut. Imaginasiku meretas, menyaksikan bayangan dua manusia kecil nan ceria berlari-lari hendak memelukku dan memanggilku “Bunda”.
Namun, aku akhirnya terhenyak pada kenyataan, karena pada minggu ke 29 kehamilan, detak jantung, aliran darah dan perkembangan tulang calon anak laki-lakiku telah berhenti. Semua hilang tanpa sebab yang pasti. Sudden Death, demikian dokter menyebutnya. Aku termangu, terdiam dan menahan isak. Mencari mata penguat jiwa pada diri suamiku. Aku genggam erat jemari suamiku mengharapkan aliran kekuatan diri menghadapi cobaan ini. Berminggu aku membentuk mental dan fisikku untuk menjadi ibu dari dua orang anak sekaligus, namun Allah berkehendak lain, mencabut semua rencanaku dan menggantikannya dengan pilihanNYA.
Airmataku tumpah sesaat. Ya… hanya sesaat. Karena ketika batinku menangis bersamaan dengan cucuran airmata yang menganak sungai, rahimku pun kontraksi. Calon anakku yang perempuan ternyata memberi isyarat bahwa ia masih hidup dan tengah berjuang untuk kehidupannya.
Aku tersadarkan. Calon putriku masih bertahan. Ia sepertinya ingin mewujudkan asaku menjadi seorang Ibu. Fase berdukaku secara pelan kukikis. Tahapannya berganti menjadi fase perjuangan bagi calon putriku, sejak pertama kali aku harus menginap di rumah sakit hingga satu bulan berikutnya. Aku terbaring istirahat di sana.  Aku nikmati setiap tahap pemeriksaan diri  sebagai upaya mendapatkan sebuah panggilan “Bunda” dari anakku. Suntikan pematangan paru-paru bagi janin perempuanku kala itu adalah salah satu yang  membuatku “menikmati” rasa kesakitan setiap kali obatnya merayap menyelusuri tubuh ini. Badanku bak diserang ratusan semut merah ketika obat menjalar ke seluruh tubuh.
Aku melewati proses melahirkan seorang bayi laki-laki yang telah tanpa nyawa selama sebulan dalam rahimku. Tubuh almarhum putraku telah membiru layu dan hanya memiliki berat 700 gram. Selang beberapa menit, lahir bayi perempuanku dalam kondisi memprihatinkan karena premature. Tak ada tangisan bayi sama sekali. Dalam kepasrahan, kusempatkan tiap detik yang kumiliki  untuk menghipnotis diri dengan mengucapkan ratusan kali istigfar serta berbagai ayat pendek yang kuingat. Aku bahkan sempat mendapat serangan darah tinggi sebentar. Namun berhasil kembali stabil beberapa menit kemudian. Kondisi ini menjadikan mentalku harus siap untuk segala kemungkinan.
Di saat melahirkan, aku melihat prosesnya dengan keadaan sadar. Dokter terlebih dulu mengangkat jasad bayi laki-lakiku, kemudian tubuh bayi perempuanku berwarna merah muda pucat, dikeluarkan oleh dokter dalam posisi sungsang. Tak lama, aku pun dibujuk untuk tidur dan mengistirahatkan mata dan tubuhku oleh dokter anastesi.  Sayup kudengar tangisan bayi selang 10 menit dari dikeluarkannya bayi-bayi tersebut dari rahimku. Kemudian, aku tak ingat apa-apa  hingga pagi datang menjelang. 
Akhirnya, putriku diijinkan Allah menjadi bagian dari keluargaku, setelah berteduh dalam rahim selama 33  minggu. Perjuanganku menjadi ibu pun bermula dari kelahiran Siti Syarifah Salsabila Onasis. Seorang anak perempuan yang aku doakan melalui namanya untuk menjadi perempuan mulia dunia akhirat yang dijanjikan mata air surga.

Pelukan Pertama
Nyaris 24 jam pasca aku memasuki ruang operasi, aku berusaha belajar duduk dan berjalan. Kuminta suster membuka infus. Sembari menahan rasa sakit atas luka operasi caesar, aku berhasil duduk di kursi roda dengan selang kateter masih kupegang. Aku beritikad kuat, untuk  menemui bayi perempuanku. Sementara mayat bayi laki-lakiku tak dapat aku jumpai, karena telah dibawa pulang oleh ayah ibuku. Ia akan dimakamkan tepat di depan rumahku. Agar selalu dekat denganku.  
Memasuki ruangan intensif bagi para bayi baru lahir itu, membuat hati berdebar kencang. Tak kala aku melihat kondisi putriku. Begitu banyak selang terpancang ditubuhnya. Pada hidung, mulut, dada, pusar dan kakinya. Semua digantungi oleh selang dan kabel. Ia terlihat begitu mungil dan rapuh. Tanganku gemetar menerima dirinya dalam pelukan. Ini adalah pertemuan pertama kami. Aku menanti suara tangisnya yang tak kunjung keluar. Salsabila hanya memberikanku pertunjukan beberapa gerakan kecil saja.
Rasa sakit tak begitu aku rasakan. Meski khawatir dengan keadaanya, aku tetap mencoba berpikir positif dan konsentrasi pada tubuh mungil berukuran 2 kg yang ada di pelukan. Aku berikan ia cairan ASI pertama. Peluh membasahi tubuh ini. Suamiku dengan sabar menghapus keringatku sembari memegang selang kateter. Selama proses menyusui pertama kali itu, jantungku berdebar sangat kencang. Sesaat, aku mengira terkena serangan jantung. Sebegitu hebatnya pengaruh pelukan dan menyusui pertama kali bagi tubuhku.
Kuelus pelan tubuh kecil itu, kucium hangat pipinya sembari khawatir selang oksigennya tersentuh. Ya Allah, mahluk mungil ini yang kelak akan memanggilku Bunda, bisik hatiku perlahan.
Ada airmata yang tertahan. Biarlah ia menggenang di pelupuk. Karena ini bukan airmata kesedihan. Airmata ini adalah kebahagiaan sekaligus kekhawatiran. Sesaat aku membatin, Akankah putriku dapat bertahan?.  Kembali kucium lembut dirinya. Gosokan tangan suami secara ringan di punggungku terasa mengalirkan rasa hangat dan keyakinan bahwa anak kami akan segera sehat.
Putriku secara perlahan menghisap ASI. Refleksnya menerima makanan alamiah nan sempurna ciptaan Allah dari tubuh ini membuatku terenyuh. Ada getar-getar lembut menyelusup ke hati. Kesempurnaan menjadi seorang ibu telah tercapai. Melahirkan seorang anak dan menyusuinya menjadi moment terpenting dalam hidupku. Mengalahkan detik ketika aku diwisuda, saat aku menikah bahkan ketika aku dinyatakan hamil sekalipun.
Kesabaranku dan suami menanti kehadirannya selama 9 tahun pernikahan kami membuahkan kebahagiaan tak terkira. Rasa sakit dihina dan dicerca banyak orang yang menganggapku mandul, pertanyaan-pertanyaan yang menorehkan luka di hati karena lama tak memberi keturunan bagi suami, kalimat sarkasme yang menghampiri, akhirnya terjawab di akhir bulan Agustus 2008. Hari ketika aku diberikan kesempatan menjadi seorang Bunda.

Terlalu  Protektif
Putriku tak dapat langsung kubawa pulang. Ia terlebih dahulu harus menginap selama 28 hari di rumah sakit. Saat aku dan suami membawanya pulang, kugendong putriku dengan sangat hati-hati. Aku bahkan berikhtiar, mulai hari itu hanya aku sendiri yang akan mengasuhnya. Aku nyaris seperti orang yang tak masuk akal, ketika tak satu orang pun yang kuijinkan untuk mengendong putriku. Pengecualian hanya berlaku bagi kedua orang tua dan mertuaku. Nyaris selama 3 bulan pertama, hingga aku meyakini bahwa fisik dan mental putriku sudah stabil, baru aku perbolehkan satu dua orang lain mengendongnya. Itupun dengan berbagai persyaratan, seperti harus cuci tangan, baju bersih dan tidak dalam keadaan sakit menular seperti flu atau batuk.
Banyak pihak di belakangku yang membincangkan sikap kaku dan protektifku  sebagai ibu. Aku tak perduli. Aku pikir, bukan mereka yang menjalani kehidupanku. Mereka tidak harus menunggu 9 tahun untuk mendapatkan momongan seperti yang kualami. Serta bukan mereka yang harus kehilangan janin laki-laki dan berjuang untuk kehidupan janin perempuan. Egoku menyatakan, adalah wajar jika aku menjaga kesehatan putriku begitu ketat, hingga aku yakin ia cukup kuat menerima keberadaan orang lain selain ibunya.
Beruntung, sikap protektif ini tak berlangsung lama. Akupun sadar, bahwa bagaimanapun juga, putriku kelak akan menjadi seorang mahluk sosial. Ia pun akan menjadi manusia yang harus mandiri. Perlahan aku berupaya membenahi hati. Menyakini bahwa putriku bahagia bersama orangtuanya. Tumbuh kembangnya mengarah ke hal yang baik dan sehat. Kekhawatiranku yang dianggap orang berlebihan, mulai berkurang. Aku belajar sabar menjadi seorang ibu dari seorang perempuan kecil yang tumbuh kembangnya tak secepat bayi seusianya.
Ketakutanku sempat memuncak, ketika di usia 9 bulan, putriku belum dapat duduk sendiri, tak bisa merangkak bahkan tak punya gigi. Namun kekhawatiranku punah setelah di usianya ke 10 bulan semua kemajuan fisiknya muncul secara bersamaan. Putriku merangkak mundur. Iapun tertawa ceria ketika berhasil duduk sendiri dan tumbuh gigi. Bahkan ia tumbuh menjadi perempuan mungil ceria yang sangat aktif. Hari-hariku sebagai Ibu diisinya dengan kelincahannya yang penuh cinta.

Epilog
“Bunda…Bundaaaa…” suara kecil itu memanggilku. Aku terkesima. Selama ini dia memanggilku dengan beragam panggilan seperti Wowok, Dada, Buda dan panggilan lainnya. Namun kali ini, tepat di usianya yang ke dua tahun dengan lancar ia memanggilku Bunda. Ketika kami sekeluarga berada di kota Guangzhou, kaki mungilnya berlari menuju ke arahku dan ia meneriakkan kata “Bunda” untuk pertama kalinya. Hatiku penuh dengan rasa bahagia yang tak terkatakan.  

***
Pamulang, 15 Februari 2011.

8 comments:

  1. perjalanan yg panjang ya mbak, sukses lomba nya

    ReplyDelete
  2. hiks terharu aku baca ceritanya mbak .. salam kenal .. :)

    ReplyDelete
  3. @mama pascal... iya perjalanan panjang..:) makasih udah mampir ya..amiiin untuk doanya

    @mbak mulyana.. salam kenal juga mbak..makasih udah membacanya ..:)

    ReplyDelete
  4. subhanallah...
    Bingung mau komentar apa uni.

    ReplyDelete
  5. @indah... makasih sudah mampir dan membaca ya ind..:)

    ReplyDelete
  6. Perenungan yang indah... This is my favorite: "Rinduku pada seseorang yang memanggilku “Bunda” telah sampai pada titik pasrah." Semoga Bila sehat selalu ya. Adiknya kapan launching?

    ReplyDelete
  7. Oh, dan semoga naskah ini menang *_^

    ReplyDelete
  8. @mbak ratih soe... insyaAllah launching akhri Maret..:))

    btw... alhamdulillah tulisan ini masuk 10 terbaik mbak ratih. dan sudah dipublish di buku "Jangan Lukai Ibum" Penerbit Qultummedia.. tahun lalu..:)

    ReplyDelete