Sunday, April 01, 2012

TIKET KEPERGIAN


Oleh : Dian Onasis

“Dian…. Ada telepon dari Papa.” Suamiku menyerahkan handphonenya ke aku, seraya ia kembali menuju meja komputernya.

“Halo, Bos. Apa kabar? Tumben nelpon ke hape Bang Asis?” tanyaku setelah handphone suami ada di tanganku.

“Eh, kog malah Dian yang terima? Papa mau ngobrol ama Asis,” jawab Papa.

Aku manyun. Ternyata Papa mau ngobrol dengan suamiku, ketimbang diriku. Namun rasa kecewaku tak berlangsung lama, karena beberapa menit kemudian suami mendekatiku, “Nih, Papa mau ngobrol juga ama Dian, kog,” kata suamiku, tak lama setelah ia selesai bicara dengan Papa. Wajahnya tergores senyum menggoda.

Aku segera mengambil handphone tersebut dan berbicara dengan Papa.

Hari itu, tanggal 1 Maret 2012, jam 11 malam.

“Eh iya, Papa udah ngepacking buku Kho Ping Hoo satu koper lho, Ian,” kata Papa dari seberang sana. Papa tinggal di Palembang. Sementara aku tinggal di Pamulang, Tangerang Selatan.

“Lho, untuk apa Pap? Banyak banget? Yang kemaren Papa kirim aja belum Dian mulai baca,” jawabku protes.

Sambil tertawa khas Papa, beliau berkata “Ya, buat warisan ke Dian.” Lalu tawanya menggema di handphone. Aku bisa membayangkan wajah ganteng dan gigi rapi Papa yang selalu menarik perhatian, setiap kali Papa tertawa. Bahkan di usia senjanya, tawanya selalu menarik. Papa terdengar sehat, meski beberapa waktu lalu, Papa sempat anfal, karena dapat serangan jantung kecil. Namun beliau berhasil meyakinkanku dan keluarga, bahwa dia baik-baik saja.

Obrolan berlangsung beberapa menit. Papa cerita kalau tiket keberangkatannya bersama Mama dan adik bungsuku telah di tangan.

“InsyaAllah, besok jam 4 sore, kami terbang. Jadi ba’da zuhur, kami akan berangkat dari rumah,” kata Papa sebelum percakapan kami berakhir.

Papa dan Mama memang kuminta datang ke Pamulang, karena sebentar lagi aku akan melahirkan anak ke duaku. Aku ingin orang tuaku hadir dan menemani hari-hari menjelang kelahiran dan menikmati hari-hari pertama menimang cucu ke dua mereka. Papa dan Mama cukup lama menanti mempunyai cucu. Setelah sembilan tahun menikah, aku baru diberi momongan oleh Allah. Kemudian, 4 tahun berjarak, Allah memberiku kepercayaan lagi, untuk menimang seorang anak. Cucu ke dua bagi Papa dan Mama.
***

Sore menjelang, kulingkari tanggal 2 Maret 2012 di kalender kamarku. Mataku bengkak. Tangisku telah habis terkuras selama siang tadi.

Siang penuh duka. Ketika aku tertidur, dan dibangunkan oleh tante dan suamiku dengan wajah penuh duka. Saat itu aku tahu, ada yang telah pergi meninggalkan kami. Suamiku tak pernah menangis hingga bengkak matanya seperti itu.

Aku protes…! Aku memberontak dan aku tak perduli dengan kontraksi palsu bayi dalam kandunganku, ketika aku menendang-nendang kakiku, tak percaya dengan berita, kalau Papa telah pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya.

“Tidaaaak! Papa sudah pegang tiket untuk bertemu aku hari ini….!” Protesku keras diantara isak tangisku.

“Aku sudah janji bertemu Papa hari ini!” Aku menendang dan memberontak dari pegangan suamiku. Tak perduli dengan kehamilan tua yang aku kandung.

“Tikeeet! Belikan aku tiket…! Aku harus ketemu Papa hari ini juga!” Makin kencang tendangan dan teriakanku, hingga akhirnya aku tersedu-sedu dalam keperihan hati.

“Istigfar Sayang, istigfar Bunda, ingat dedek dalam perut…,” bujuk suamiku berusaha keras untuk memeluk tubuhku.

Aku terus berteriak histeris selama beberapa menit, hingga tersadar akan adanya bayi dalam kandungan yang mengeras berkontraksi palsu. Aku beristigfar di sela-sela tangisan.

Flash back kejadian beberapa waktu sebelumnya, obrolanku dengan Papa. Candaku dengan Papa. Kenangan bersama Papa sejak kukecil muncul berlapis-lapis.

Papa yang selalu ada dan bersedia mengantarkan ke mana pun aku pergi. Menemani di saat aku ketakutan ikut lomba murid teladan tingkat Sekolah Dasar. Hingga menjadi partner setia, mengantarku ke kantor-kantor instansi ketika aku harus riset dan menyelesaikan thesisku bertahun lalu.

Papa yang dulu, selalu dan sering bertugas ke luar kota, namun selalu setia dan meluangkan waktunya meski sedikit sekalipun, ketika ada di rumah, untuk aku dan adik-adikku.

Papa yang ketika pensiun, menghabiskan waktunya untuk selalu menyenangkan hati kami semua.

Tawanya yang khas, candanya yang unik serta kharisma keren yang selalu memancar dari wajahnya, selalu menjadi sesuatu yang istimewa dari dirinya.

Aku tercenung.

Kepergiannya sangat tiba-tiba. Pamitnya yang tak merepotkan keluarga, baik fisik, mental maupun materi. Rasa kehilangan yang dimunculkannya, di kala Papa sangat dicintai keluarga. Serta senyum bahagia tergores tipis di bibir bekunya, tak ada tanda kesakitan pada tubuhnya ketika nyawa pergi meninggalkan raga.

Tiket penerbangannya yang dipegangnya bertanggal 2 Maret 2012 jam 16.00 sore itu, ternyata tiket kepergian untuk selamanya.

Sebuah tiket yang membawanya pergi, tanpa dapat kembali lagi kepada keluarganya.



Tiket Kepergian sebagai sebuah tanda, sebuah cerita.
***

Selamat jalan Papa. Aku bersama putriku Billa dan cucu yang tak sempat kau jumpai M. Ammar Al Mumtaz Onasis, akan dengan setia mendoakanmu di sini.
Pamulang, 1 April 2012.