Tuesday, August 07, 2012

[Catatan Ramadan] ASI-16 : Obat Terbaik untuk Anakku

gambar pinjem dari sini 

Hari ini aku mau cerita pengalaman pribadiku seputar penyakit “ringan” maupun kondisi kesehatan yang tak menyenangkan yang dialami oleh anak-anakku, namun dapat ditanggulangi dengan ASI sebagai pertolongan pertama.

Pertama kali aku mendengar istilah bayi dengan bilirubin tinggi atau kalau umumnya suka dibilang bayi kuning, adalah ketika Billa berusia 4 hari. Aku ingat betul, betapa khawatirnya hati ini. Namun dokter Rina, sebagai dokter anak yang menangani kelahiran Billa, membuatku akhirnya percaya, bahwa Billa dapat sehat dan tak akan mengalami masalah kesehatan yang berat, jika aku percaya diri dalam memberikan ASI.

Karakter beliau yang tegas dan smart, sangat mendukung mentalku untuk yakin, bahwa dengan supply ASI sebanyak dan sesering mungkin, maka billirubin Billa akan kembali normal.

Pengalaman ini sangat berharga, karena ketika Aam juga mengalami billirubin yang lumayan tinggi, aku tak terlalu khawatir. Secara mental aku sudah tahu apa yang harus kulakukan, sehingga secara fisik, aku tinggal berusaha untuk tidak terlalu capek, agar ASI ku mengalir cukup untuk kesehatan Aam.

Pengalaman lain yang sangat membekas di hati, adalah ketika Billa terserang muntah-muntah dan diare di usianya ke 18 bulan, dan kami berada di Guangzhou. Kala itu adalah hari ke 2, dan aku tak tahu harus berobat ke mana, dan bagaimana komunikasi dengan dokternya.

Menjelang mendapatkan penerjemah dan dokter anak, Billa mengalami suhu tubuh yang tinggi dan tiba-tiba drop, hingga lemas sekali. Aku menyusui Billa sekitar 48 jam sebelum akhirnya kuputuskan untuk ke Gawat Darurat di Klinik dekat hotel kami menginap.

Tubuh Billa menyusut, dan berkurang 2 kilo. Hanya ASI 100% yang masuk ke dalam tubuhnya. Aku tak berani memasukkan susu formula ke tubuh Billa, dan Billa selalu memuntahkan bubur saring buatanku.

Akhirnya nyaris 2 hari, Billa bertahan dengan ASI saja. Aku nyaris kehilangan daya, akal dan sempat putus asa. Menyesali kepergianku ke Guangzhou. Namun, ketika aku ingat, bahwa Billa bergantung pada ASIku, dan aku harus tenang untuk menghasilkan ASI yang cukup bagi kesehatan Billa, maka kukuatkan mentalku, kuhanya menangis dalam sholat, dan terus menerus kuberikan ASI pada Billa.

Alhamdulillah, kamipun berhasil mendapatkan penerjemah, terus menemukan dokter anak yang tepat. (sebelumnya sempat ke dokter anak di RS pemerintah, tapi aku gak percaya dengan cara memeriksanya, entahlah.)

Saat itulah, aku sangat percaya, bahwa ASI memberikan kekuatan bagi Billa untuk bertahan hingga bertemu dokter yang tepat.

Selain dua kejadian di atas, aku juga banyak mendapatkan informasi, jika bayi terserang demam, diare, batuk dan pilek, maka obat atau penolong pertamanya adalah ASI. Aku termasuk orang tua yang tidak langsung pergi ke dokter, jika bayinya mengalami demam. Biasanya kutunggu hingga 48 jam atau 72 jam, dan memantau suhu tubuh bayi, sambil terus memberikan ASI.

Waktu Billa sempat diare, aku juga menghentikan susu formula, dan kembali memberikan ASI full untuk dia, hingga dia terlihat nyaman dan mau makan bubur kembali.

Kalau Billa dan Aam selesai disuntik imunisasi, biasanya rewel ataupun tubuhnya sedikit menghangat, maka ASI lah yang menjadi penolong utamanya. Alhamdulillah…

***

Pamulang, puasa hari keeeee…. 18 ya?

Ugh ini jeleknya kalau sempat dua hari keluar dari jalur kebiasaan.. jadi gak konsisten postingnya.. huhuhu…

Sunday, August 05, 2012

[Xenophobia] Am I A Xenophobia Maker?

 ***

“An abnormal fear or hatred of foreigners and strange things.”
Mata perempuan itu menatap lekat tulisan pada layar.  Hening sebentar. Ia sepertinya mencoba menelaah kata-kata tersebut.
Perlahan terdengar hembusan nafasnya. Kembali senyap.
Tak lama, tangannya kembali memegang tetikus.
“Klik!”
“A person unduly fearful or contemptuous of that which is foreign, especially of strangers or foreign peoples.”
Keningnya berkerut sedikit. Keminiman ilmu yang dimilikinya, mengharuskan otaknya bekerja lebih keras dari biasa, guna mengunyah mentah-mentah kata-kata asing tersebut. Kali ini bukan resep atau cerita anak yang dijadikannya kata kunci di mesin pencari, namun kata asing yang semakin hari, semakin membuatnya bertanya-tanya, apa definisinya ya?
Tangannya kembali menscroll tulisan yang ada di layar komputernya. Sekali-sekali kegiatan terhenti, karena harus membuka kamus terjemahan Inggris –Indonesia.
“Ugh, inilah akibat kursus bahasa Inggris hanya untuk dapetin sertifikat doank.” Gerutunya dalam hati, sementara tangannya sibuk membolak balik lembar kertas kamus, setebal bantal boneka anaknya.
“Ah coba di laman lain, ah….” Pikirnya makin ingin tahu.
“Hatred or fear of foreigners or strangers or of their politics or culture”
“Hemmm, politik dan budaya dari orang asing pun masuk dalam indikatornya ya?” bisiknya perlahan. Tangan kirinya bergerak perlahan mencari gelas teh hangat, yang sudah disiapkannya sebelum melakukan pencarian data pagi itu.
Suara menyeruput air teh, sedikit memecahkan keheningan subuh. Aliran teh hangat menelusuri kerongkongannya. Nyaman, namun pikirannya tidak.
Mulut perempuan berusia jelang 40 tahun itu kembali berkomat-kamit, membaca sebait kalimat.
Xenophobia is defined as “an unreasonalble fear or hatred of foreigners or strangers of of that which is foreign or strange. It comes from the Greek words (xenos) meaning “stranger”, “foreigner”, and (phobos), meaning “fear”.
Jemarinya melakuan kebiasaan lama, yakni mengelus-elus dagunya. Sesekali kepalanya terlihat sedikit miring. Bertanda ia sedang berpikir keras.
“Wah, dari bahasa Yunani, toh, kata Xeno berasal?” pikirnya. Sesaat kemudian ujung bibirnya sedikit naik, ada sedikit senyum meruncing di sana.
“Kog ya, aku jadi inget sodara jauhku yang bernama Seno, sih? Penyebutannya aja mirip, artinya pasti gak sama, ah….” Gigi geliginya muncul sekilas menyertai senyum, yang sayangnya lebih mirip seringai. Entah kenapa, di saat serius begini, malah muncul konsep sontoloyo menyamakan kata Xeno dengan Seno. Kepalanya menggeleng sebentar. Berusaha mengusir kekonyolan yang baru saja menggodanya.
“Klik!” Tetikusnya kembali bekerja.
Kali ini Oxford English Dictionary secara online dibukanya. Muncul kalimat, xenophobia include : deep-rooted, irrational hatred towards foreigners, unreasonable fear or hatred of the unfamiliar, especiallya people of other races.
Meski tak letih, namun perempuan itu meletakkan punggungnya pada kursi komputer. Lagaknya, ia mulai mencoba membentuk pattern atau cetakan pola pikir dalam otaknya, yang kalau tak rajin digunakan, dijamin akan sama dengan kondisi museum tua di kawasan Kota.
“Apa aku seperti itu ya?” Tanyanya pada diri sendiri. Senyap. Tak ada jawaban. Lalu, ia berdiri, perlahan berjalan menjauhi komputer di ruang kerjanya. Berjingkat sebentar. Entah, alasannya tak jelas, mengapa harus berjingkat di rumah sendiri?. Perlahan, dibukanya pintu kamarnya. Lampu temaran di kamar, tak membuatnya sulit untuk memandangi satu persatu wajah anak-anaknya.
Aura tenang bayi laki-lakinya yang berusia 4 bulan membuatnya tersenyum bahagia sebentar. Matanya terbiasa dengan remang kamar dan mencari wajah anak perempuannya. Anak perempuannya yang beberapa minggu lagi, akan berusia 4 tahun, tampak pulas dengan gaya tidurnya yang rusuh.
Tiba-tiba, tanpa dapat ditahannya, kilasan-kilasan frame cerita sehari-harinya muncul bertubi-tubi.
“Udah, Billa di dalam aja. Gak usah ikut Bunda. Cuma sebentar, kog, Bunda beli tahunya. Si tukang tahunya ada di depan. Kakak gak usah ikut-ikutan, ntar diculik tukang tahu itu.”
Adegan sesaat itu terjadi di malam hari, karena tukang tahu itu selalu menjual tahunya malam hari. Meski tahu jualannya si Tukang Tahu itu enak, tapi hati perempuan itu sering tak nyaman setiap kali laki-laki dewasa, dengan baju seadanya, berkulit hitam terpanggang matahari dan bahkan mungkin ditambah sinar bulan, berdiri menunggunya membayar tahu belanjaan. Laki-laki itu selalu menyapa anak perempuan kecilnya dengan ramah, jika putrinya berkeras hati untuk tetap melihat si Tukang Tahu.
Kali lain,
“Eh, kakak di dalam aja. Udah…, gak usah ikut-ikutan belanja sayur. Bunda gak suka kakak baek-baek sama laki-laki asing kayak tukang sayur itu. Awas, ntar kakak diambilnya lho….! Mau jauh-jauhan sama Bunda?”
Kalimat itu sekali-sekali muncul dari mulut si perempuan, ketika putrinya bersikeras ikut serta menemaninya belanja pada tukang sayur, yang rutin melintasi jalan di depan rumah. Penampilan si Tukang Sayur yang mirip si Tukang Tahu, membuatnya khawatir, terutama, setiap kali laki-laki dewasa itu mencoba menyapa putrinya dengan ramah.
Di kesempatan berbeda,
“Hush, gak boleh bicara ama orang asing, termasuk tukang ojeg, ya!” perintahnya dengan suara berbisik pada putrinya. Ketika putrinya yang sangat ramah itu menyapa si Tukang Ojeg. Lagi-lagi, sikap perempuan itu mendokrin putrinya, agar tak beramah-ramah pada laki-laki dewasa dengan penampilan, yang juga mirip si Tukang Tahu dan si Tukang Sayur.
Deg!
Rasa-rasanya ada yang tak beres pada dirinya. Tiba-tiba, pagi itu, hati si Perempuan yang juga berkulit tak putih, terasa penuh sesal.
“Duh, apa yang sudah aku lakukan? Apa aku sekedar berprasangka buruk pada penampilan laki-laki dewasa yang lusuh? 
Atau aku termakan berita-berita tentang penculikan serta perkosaan terhadap anak kecil, yang dilakukan oleh orang-orang asing di sekitar rumah? 
Terlalu khawatirkah aku akan berita  yang ada di televisi dan media massa lain tentang kejahatan orang dewasa terhadap anak kecil?
Ataukah aku mulai ketakutan tanpa alasan pada orang-orang asing yang sebenarnya berprofesi baik itu?” Pikiran perempuan tersebut berkecamuk. Rasa bersalah mulai muncul.
Perlahan, tangannya menutup pintu kamar. Tiba-tiba seperti muncul udara dingin di sekitar tubuhnya. Ada gementar kecil perlahan menyusup. Ia mulai waspada terhadap dirinya sendiri. Ada yang tak beres pada konsep buatannya mengenai orang asing.
Tak lama, ia kembali duduk di kursi di depan komputer. Tangannya mengelus tetikus, menggenggam dan mengarahkannya pada beberapa laman yang masih terpampang di layar.
Sebaris paragraf penjelasan mengenai karakter orang yang xenophobia muncul. Ia mendekatkan wajahnya sedikit maju ke arah layar. Memastikan mata dengan kacamata plusnya membaca dengan baik. Otaknya -lagi-lagi- mencoba mencerna tulisan dalam bahasa Inggris. Sedikit keluh muncul dalam hatinya, setiap kali harus bekerja keras menerjemahkan kalimat-kalimat asing itu. Namun dikalahkannya keluhan tersebut, demi harapan mendapat masukan positif bagi kesalahan yang mungkin telah dilakukannya.
“A xenophobic person has to genuinely think or believe at some level that the target is in fact a foreigner. This arguably separates xenophobia from racism and ordinary prejudice in that someone of a different race does not necessarily have to be of a different nationality. In various contexts, the terms "xenophobia" and "racism" seem to be used interchangeably, though they can have wholly different meanings (xenophobia can be based on various aspects, racism being based solely on race, ethnicity and ancestry). Xenophobia can also be directed simply to anyone outside a culture, not necessarily one particular race or people.”
Matanya melekat pada kalimat rasis dan prasangka yang muncul berdampingan dengan kata xenophobia. Meski masih kesulitan menelaah semua kalimat tersebut. Hatinya agak tidak tenang. Sebuah tanda tanya besar muncul di kepalanya.
“Apakah aku telah menjadi seseorang yang membentuk karakter xenophobia pada putriku sendiri? Am I already, a xenophobia maker?

***
Pamulang. Terinspirasi pada kisah diri sendiri.
Isi tulisan terdiri atas 1137 kata.
Definisi dan informasi mengenai xenophobia dikutip dari : sini, sana, situ, sebelah sana dan sebelah sini
Diikutsertakan pada lomba menulis bertema xenophobia, milik Liliput Berjilbab. 
Ditulis dengan perasaan penuh kekhawatiran, apakah aku salah faham dengan kata xenophobia? Rasis? Prasangka jelek? Aaaah, apa pun itu. Akhirnya aku jadi belajar banyak setelah menulis ini. 

[Catatan Ramadan] ASI – 15 : Nursing Room


Kalau aku sih nyebutnya ruang menyusui. 

Ada yang nyebutnya Nursery room (meski rasanya ini lebih kepada ruang perawatan bayi ya?) Sementara kalau Nursing room mirip artinya dengan Lactation room, yang artinya lebih kepada ruang private untuk ibu menyusui bayinya. 

Ruang menyusui bisa ditemui di Mal dan Rumah Sakit. Namun sejak beredarnya peraturan pemerintah yang mengharuskan perkantoran mensupport ASI eksklusif, maka sudah banyak perkantoran yang memiliki ruang menyusui (termasuk ruang untuk memerah susu, dan membersihkan bayi selesai pipis ataupun pup).

Nursing room yang paling jadi favoritku kalau ke Mal, adalah di Pondok Indah Mal 2 lantai 3, dekat dengan mushola yang terpisah laki-laki dan perempuannya. 

Kalau yang gak banget itu, nursing room yang di Citos. Gak tau sekarang ya, sejak gak nyaman dengan nursing room ya, aku memilih untuk tidak jalan2 ke sana kalau gak penting banget. 

Beberapa link terkait mengenai hal ini bisa dilihat di : 



InsyaAllah nanti di update lagi cerita ini ya.. Hari in mencuri waktu 30 menit untuk menulis ini langsung pada blog. Belum ketemu foto dan editan yang baik.

***

Pamulang, Hari puasa ke 15, baru pulang dari rapat orang tua dan guru di sekolah Kakak, sekaligus pembentukan badan koordinator kelas, sengaja melibatkan diri, soalnya kalau ada fieldtrip, hanya ortu yang aktif di Bakos, yang bisa mendampingi anaknya. Datang bersama Aam aja nih.. si Kakak jadwal kursus bahasa Inggris di Easy Reader.. :) 




Saturday, August 04, 2012

[Catatan Ramadan] ASI – 14 : ASI BASI?


Pernah gak dengar istilah ASI Basi?

Atauuuu pernah gak ketemu ama ibu-ibu yang menyusui, terus pas mau kasih ASI nya, terus bilang, “permisi mau ke kamar mandi dulu, mau buang ASI, yang awal ini ASInya basi.” ?

Aku sih belum pernah ketemu ibu yang membuat ASI dari Payudara langsung terus bilang ASInya basi, tapi kalau ibu yang membuang ASI dalam botolnya, pernah… Ya Saya sendiri.. hiks hiks.. (ini gara-gara asisten rumah tangga gak nutup freezer dengan bijak.. walhasil 10 botol ASI perahku semalaman tak terkontrol dengan baik.. dan ketika dipindahkan ke bagian bawah kulkas, aroma dan penampakannya sudah tak layak lagi deeeh... awalnya masih niat berikan ke dek Aam, tapi karena ragu dari freezer, ke kulkas bawah, lalu lewat 2 minggu, ya sutralaah, dengan airmata tertahan, aku buang seluruh ASI tersebut..:((( 

Anyway... 

Istilah ASI Basi itu aneh juga sebenarnya ya?

Ada yang bilang, ASI pertama kali keluar, namanya ASI basi, padahal itu kolostrum. *gubrak gak seeeeh? J

Ada yang bilang, kalau gak menyusui lama, misalnya harus pergi 1-2 hari dan babynya gak bisa ikutan, terus pas ketemu babynya lagi, katanya ASInya sudah basi. 
How comeeeee? Wong ASInya tertutup dan kedap udara dalam payudara ibunya… hehehe.. jelas gak basi donk… J

Jadi, kapan ASI Basi?

Yaaaa, kalau udah diperah ibunya, masuk botol dan diletakkan di luar kulkas, maupun di dalam kulkas. Naaaah.. bisa aja ntar ASInya jadi basi.

Kenapa?

Misalnya, kalau udah diperah, tarok dalam botol susu, terus gak diminum lebih dari sekian jam, nah bisa jadi nanti ASInya basi.

Oh iya, sekedar informasi, ASI perah merupakan ASI yang diambil dengan cara diperas dari payudara untuk disimpan dan nantinya diberikan pada bayi.

 ASI itu bentuknya tidak seperti susu sapi yang homogen, yang tidak terpisah lapisannya sampai kapanpun. Jika didiamkan beberapa waktu, ASI akan terpisah menjadi 2 lapisan. Lapisan atas akan terlihat lebih kental dibanding lapisan bawahna. Itu tidak berarti ASI telah basi. Cukup dikocok perlahan botol atau wadah ASI perah tersebut, hingga larutan ASI kembali membaur atau homogen kembali.

Pengalamanku  jika akan meninggalkan Aam dalam hitungan beberapa jam, biasanya memerah ASI dulu, lalu diletakkan dalam botol susu. Nantinya, jika Aam haus, Ayah atau Nyai-nya yang ada di rumah, akan memberikan susu itu, tentu dengan mengocok botol susu itu dulu. 

*Pagi ini, aku harus mengantar Billa sekolah karena lagi super rewel, lalu ada arisan bakos, ada kegiatan baksos, belum lagi ngecek seragam sekolahnya udah datang apa belum, ke bank bayaran uang sekolahnya.. huhuhu.. jadinya ribet. Karena ayahnya gak gitu bisa kalau diminta multitasking gini.. walhasil, aku pompa ASI 10 menit, dapat 90 cc, tarok di botol dan ayahnya yang kebagian jagain si Aam… hehehe.. Sayangnya waktu aku pulang 3 jam kemudian, ternyata si Aam baru bangun dan minum susu botolnya sama aku …. Huhuhu.. teteuuuup..:) hehehe

Berdasarkan informasi yang aku dapat, dari googling, dari brosur dokter dan dari beberapa majalah parenting, umumnya ASI tidak akan basi dalam waktu tertentu dengan penyimpanan yang benar.

Misalnya, ASI yang baru saja dieprah, akan tahan disimpan dalam botol tertutup dalam suhu udara ruangan sampai dengan 6 jam. Atau jika disimpan dalam thermos yang diberi es batu, akan cukup bertahan hingga 24 jam. Lain lagi jika disimpan dalam kulkas ataupun freezer. Bisa bertahan kisaran waktu 2 minggu, hingga 6 bulan.

2 minggu jika disimpan dalam suhu kulkas bagian bawah, sedangkan 3-4 bulan jika diletakkan di freezer yang tidak terpisah dengan kulkas bagian bawah, atau bisa 6 bulan jika diletakkan khusus pada freezer yang tersendiri.

Link terkait yang cukup informatif ada di blog ini. 

Jadi, gak ada kog ASI basi yang berasal dari payudara ibu langsung. Yang ada ASI basi yang merupakan ASI hasil perah dari ibu. ^_^

Tetap Semangat yaaa !!!


***

Pamulang, Puasa ke 14.. Ah sudah 2 minggu. Akhirnya bisa nulis juga siang ini, ditengah hiruk pikuk being a multitasking mom... huhuhu 
*Belum sempat diedit, belum nyari gambar dan belum nulis untuk artikel jabartoday.com. mana naskah xenophobia masih teronggok dalam bentuk draft... tunggu aku ya Lessy.. hihihi... (emak-emak ngotot nulis). 

Thursday, August 02, 2012

[Catatan Ramadan] ASI – 13 : Jadwal Menyusui (ASI vs SUFOR)

GAMBAR PINJEM DI SINI 


          Satu hal terkait pemberian ASI Eksklusif  dan perlu dipersiapkan secara mental oleh para ibu baru adalah ketentuan jadwal menyusui. Sependek pengetahuan dan pengalamanku, khusus untuk ASI, maka jadwal menyusuinya adalah ON DEMAND, alias sesuai kemauan bayi alias terserah pengennya bayi.

          Lho? Kapan itu terserah maunya bayi?  Ya sesuai permintaan bayi. Bayi akan menentukan sendiri seberapa banyak ia ingin minum ASI. Umumnya, bayi baru lahir akan sering minta disusui, meskipun waktu pemberiannya tidak lama.

          Berdasarkan pengalamanku, Billa dan Aam minum ASI dengan interval 2-4 jam di 3 hari pertama. Baru kemudian, setelah lewat hari ke 4, aku dan bayiku telah mulai saling menyesuaikan diri dalam proses belajar menyusui, secara perlahan tanpa disadari, terbentuk pola menyusui antara aku dan bayiku. Ini natural terjadi, seperti halnya naluri seorang ibu terbentuk dalam proses ini, sehingga tahu kapan bayinya lapar atau sekedar haus belaka.

          Bayi baru lahir yang mendapatkan ASI eksklusif akan cepat merasa lapar. Selain karena lambung mereka sangat kecil, sehingga harus diberikan bertahap (tidak sekaligus), juga karena ASI pada prinsipnya sangat mudah dicerna, dan mengakibatkan rasa lapar pada bayi.

          Yang pasti, jadwal menyusui pada bayi ASI eksklusif tidak bisa dibatasi atau dipatok dengan batas waktu jam. Selaparnya atau sehausnya bayi, maka ibu harus stand by atau siap untuk menyusui. Makin sering menyusui untuk memenuhi kebutuhan bayi,  makan makin banyak produksi ASI si ibu.

          Jika menilik yang terjadi pada anak-anakku, maka makin bertambah usia bayi, maka makin banyak jumlah ASI yang dihisapnya, dan biasanya bayi akan menghisap dalam waktu cukup lama, namun jarak waktu menyusunya jadi lebih jarang. Jika di hari-hari pertama, bayi akan menangis lebih sering karena lebih cepat haus dan lapar, maka makin bertumbuh bayi, maka selama ia kenyang, ia akan jarang menangis, dan jangka waktu minum ASInya bisa lama dengan interval waktu yang lebih berjarak.

Berikut ini adalah, info terkait rutinitas pemberian ASI, kukutip dari clubnutricia :

          Hari pertama : Bayi akan terlihat antusias minta ASI beberapa jam setelah lahir, setelah itu lebih banyak istirahat atau tidur lagi. Namun ibu harus rajin memberinya ASI beberapa kali dalam sehari. (Untuk hal ini, aku harus tega membangunkan Billa atau Aam ketika terlalu lama tertidur dan malas minum ASI)

          Hari ke 2  : Ibu dan bayi masih sama-sama belajar memahami kebiasaan masing-masing, maka sebagai panduan, berilah ASI setiap 1,5 jam hingga 3 jam sekali, atau sekitar 8 -12 kali menyusui dalam 24 jam.

          Hari ke 3 dan ke 4 : Pemberian ASI mulai rutin dilakukan, produksi ASI meningkat sehingga payudara ibu akan terasa penuh. Bayi akan tampak lebih kenyang karena mendapat cukup ASI. Perubahan ini dapat dipantau dari kotoran bayi.

          Hari ke 5 hingga ke 28 : Umumnya ibu dan bayi telah merasa nyaman dalam proses pemberian ASI. Rutinitas mulai terbentuk. Panduan 8 hingga 12 kali pemberian ASI dalam 24 jam, dengan interval waktu 10 hingga 30 menit di satu payudara, cukup sehat untuk ibu lakukan.

          Berbeda dengan pemberian ASI, maka jika bayi yang diberikan susu formula, akan lebih cepat kenyang, mengingat kandungan susu formula lebih kaya lemak ketimbang ASI. Sehingga jadwal menyusuinya pun tidak sesering pemberian ASI. Pemberian susu formula pada bayi juga dapat dengan mudah diberi jadwal. Umumnya, bayi diberi susu formula diberi dalam jarak interval 3-4 jam sekali dengan jumlah susu disesuaikan dengan berat badan bayi.

          Berikut beberapa link yang cukup menarik untuk dibaca, bagi ibu yang ingin tahu lebih banyak perihal jadwal menyusui dengan ASI, ataupun sekedar pembanding dengan susu formula. Selamat membaca…!

- Info tambahan mengenai menyusui bayi baru lahir. 

- info mengenai pembanding ASI dan SUFOR 

- info seputar tanya jawab pengalaman para ibu mengenai jadwal memberikan susu formula bagi bayi.

- info Tips menyapih anak di tahun pertama  


***

Pamulang, Puasa ke 13. Aku kog deg-degan dengan hari  ini ya? ^_^V 


Wednesday, August 01, 2012

[Catatan Ramadan] ASI 12 : Memilih RS/Klinik/Tenaga Medis Yang Pro ASI

gambar pinjem dari sini 

Ketika hamil si Kakak Billa, aku termasuk beruntung, karena selama konsultasi dan pemeriksaan kehamilan dengan dokter Yuslam Edy Fidianto, aku sering melihat pamflet, banner serta brosur terkait pemberian ASI, di kawasan Rumah Sakit Pondok Indah.

“Hemmm, berarti RS ini pro ASI”, pikirku.

Aku sekali-sekali menyempatkan diri, ngobrol dengan para susternya, tentang ASI bagi bayi yang baru dilahirkan, tentang tempat menyusui ASI serta tentang susu formula.

Kebetulan, beberapa suster yang kuajak bicara, rata-rata menyatakan mendukung ASI. Susu formula hanya diberikan jika kondisi bayi mengharuskan ada asupan tambahan. Tapi pada prinsipnya diupayakan untuk lebih mengutamakan ASI.

Bahkan, salah seorang suster senior pun berkata, “Dulu, RS ini tidak terlalu pro ASI, namun sejak 5 tahun terakhir (aku ngobrol di tahun 2008 – red), sudah pro ASI sesuai dengan standarisasi yang ditetapkan pihak management. Makanya, tidak ada susu formula yang menjadi sponsor di RS ini.”

Kuperhatikan juga, ruang kursus untuk ibu baru melahirkan, seperti kursus memandikan bayi, kursus memassage payudara, dan kursus laktasi.

Ketika Billa lahir, suster tidak melakukan apa pun, karena aku menyatakan akan ASI Eksklusif. Billa yang baru kususui 24 jam setelah aku operasi, tidak diberikan apapun oleh para suster, bahkan tidak air putih.

Alhamdulillah, ketika Billa kena billirubin demikian juga Aam, aku tetap memberikan full ASI, dan tak ada bantuan susu formula sama sekali. Tenaga medisnya pun tetap mendukung, meski ada satu dua suster yang tetap menawarkan memberi tambahan susu formula agar billirubin anak-anakku cepat turun. Namun, tetap kutolak. *erg, kalau dipikir-pikir, agak keras kepala juga aku ya. Hehehe

Kembali ke tema tulisan, mungkin ada baiknya, para ibu yang hendak melahirkan, mencari informasi untuk memastikan tempat yang diincar buat lahiran itu, sudah pro ASI atau tidak.

Pengalaman dari salah seorang keluargaku, setelah beberapa jama melahirkan, bayinya tidur tenang dan tidak rewel karena lapar. Ternyata, telah diberikan susu formula oleh susternya. Alasannya karena dianggap si ibu masih capek abis lahiran, jadi biar ibu tidak terganggu dulu. *tepok jidat!

Aku sudah feeling gak nyaman, waktu mendaftarkan kamar bagi sodaraku itu, aku diberikan paket “hadiah” dari pihak manajemen, dan sponsornya adalah susu formula bagi bayi. Dan ternyata benar, si bayi diberi susu formula.

Berbeda, jika paket hadiah dari pihak manajemen rumah sakitnya, disponsori susu juga, tapi susu ibu menyusui atau susu ibu hamil, atau makanan padat bagi bayi, kemungkinan untuk pro ASI masih bisa dipantau.

Tips dariku sih, diusahakan, melahirkan di mana pun juga, untuk sedikit berkeras atau berprinsip agar pihak medis dan tempat melahirkan mendukung ASI eksklusif. Bila perlu dinyatakan secara lisan/tulisan dan minta pihak medis untuk berjanji agar tidak memberikan apa pun pada bayi kita, kecuali ASI dari kita.

Resikonya? Ya jelas ada.

Kita sebagai ibu baru, harus belajar lebih cepat cara menyusui, tak boleh komplain apapun jika dibangunkan (karena ibu baru melahirkan cenderung cepat letih di 1-3 hari pertama) setiap bayi menangis karena haus/lapar, karena ASI eksklusif umumnya adalah ON DEMAND, alias menyusui sesuai kehendak bayi. Tidak diatur berapa jam sekali, seperti umumnya memberi susu formula.

Jangan tergoda untuk membiarkan pihak-pihak RS ataupun orang sekitar kita memaksakan susu formula, hanya karena kita ketakutan belum keluar ASI.

Lupakan rasa sakit paska melahirkan, karena ada bayi merah yang membutuhkan ASI kita.

Lupakan segala letih dan lelah, karena  ada anak, titipan Allah, yang kelaparan dan kehausan, dan hanya kita –satu-satunya- sumber makanan  mereka.

So, calon bunda sekalian… siapkan mentalnya untuk yang terbaik bagi anak-anak kita yaaa!

Tetap Semangat!

***

Pamulang, puasa hari ke 12. Senangnya bisa masakin sahur buat Bang Asis, setelah “cuti” seminggu kemaren. Hehehe