Friday, October 31, 2014

Ketika Pilpres Berlangsung



 Seharusnya tulisan ini kubuat, saat Pilpres berlangsung.

Tapi hati ini menundanya. Letih sangat.

Perang mental, dan juga perang fisik antar dua kubu pemilih capres benar-benar luar biasa.

Jika kita runut dari belakang, dari jaman Pak Soekarno yang menjadi presiden atas desakan pemuda, dan akhirnya malah puluhan tahun menjadi presiden (dari semangat pemuda, hingga semangat diktator yang menyelimuti beliau), kita berganti presiden dengan cara tak "baik".



Bergantinya Bung Karno ke tangan Jendral Soeharto, melalui peristiwa berdarah (baik itu kejadian yang sudah diatur sebagai strategi, atau memang demikian seperti yang digembar gemborkan dalam film G 30 S PKI), maka kita berganti Presiden hingga 30an tahun dibawah kekuasaan rejim Soeharto.

Pergantian kepresidenan berikutnya ke Pak Habibie pun tak enak. Ada sebutan kudetalah, demokrasi berdarahlah, dan banyak lagi hal-hal tak nyaman yang berseliweran dalam pandangan politik Indonesia.



Pak Habibie pun tak lama menjadi presiden. Karena hasil laporan kinerjanya ditolak MPR. Kita kemudian mendapatkan Presiden yang mungkin hanya ada satu-satunya di dunia, yakni Gus Dur.

Dengan latar belakang yang unik, alasan yang juga beragam dan dianggap satu-satunya tokoh yang paling pas saat itu (aku tak begitu mau tau sebetulnya, apa alasannya, karena memang keberadaan Gus Dur selalu kontroversial), maka kita memiliki presiden yang memiliki banyak penasehat, secara formil maupun non-formil. Bahkan ada yang bilang, penasehat yang tak terlihat juga ada, wallahualam.



Sayangnya, Indonesia masih senang bermain-main. Belum tuntas masa jabatan Gus Dur, MPR  yang saat itu dipimpin Pak Amien Rais (dulu sih aku suka ama beliau, tapi semakin hari, semakin aneh karakter politiknya, hingga hari ini pun aku sudah tak terkesan lagi dengan pola pikirnya), akhirnya Gus Dur diminta mundur (jika tidak mau disebut dilengserkan) oleh anggota MPR, dan naiklah si wakil presiden sebagai Presiden.



Keren sih! Presiden perempuan pertama. Ibu Megawati Soekarno Putri. Lagi-lagi aku tak begitu tertarik untuk respek dengan peta politiknya. Lagipula selama kepemimpinannya menjalani sisa jabatan Gus Dur, ia terlihat kelimpungan dengan ekonomi Indonesia. What the hell... aku gak gitu pintar urusan ini sebetulnya. Singkat cerita, di pemilihan Presiden berikutnya, yang pertama kali terjadi, yakni pemilihan secara langsung, Megawati malah dikalahkan oleh Menkopolkamnya sendiri, Soesilo Bambang Yudoyono (SBY), yang akhirnya menyisakan ruang "sakit hati dan dendam" yang terlihat dari selama 10 tahun kepemimpinan SBY, Bu Mega tak pernah hadir di acara kenegaraan.

Tapi, tunggu sebentar... berarti suka tak suka, aku harus mengakui... di masa pemerintah Bu Megalah, justru dilangsungkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya, ya?
Oke... baiklah... meski terselip perasaan -siapapun yang jadi presidennya, termasuk masih Gus Dur pun, tetap akan dilaksanakan pilpres langsung-, boleh kita bilang ini prestasi Bu Mega, iya kan? :D *smile ear to ear...




Selanjtunya, 10 tahun bersama SBY, lumayan terasa negara Indonesia lebih "tenang". Dan ketenangan itu akhirnya menjadi klimaks, ketika pemilihan presiden secara langsung berikutnya, (untuk menentukan presiden ke 7), terbilang seru,  karena kubu pemilih terpecah dua, mengingat hanya dua calon yang maju.

Prabowo dan Hatta Rajasa, serta Joko Widodo dan M. Yusuf Kalla.







Empat nama ini mengukir sejarah pertama kalinya, pemilihan presiden di Indonesia hanya dua kandidat. Sudah bisa ditebak, peta pemilihpun terbelah dua. Kabarnya malah yang biasa golput malah turun gunung dan menentukan sikap.

Aku pribadi ikut semangat, dan sempat terlibat dalam adu status di media sosial. Hehehe.. Seru sih... Perang Mental yang berbuah rasa perih di hati, mendapati sodara dan teman baik, akhirnya terfilter dengan sendirinya. Mendapati pemikiran-pemikiran yang tak sama itu butuh perjuangan sendiri.

Foto ikutan pemilu legislatif...:) 

Apalagi kelar pemilihan, ternyata Capres pilihanku dinyatakan kalah oleh quick count, KPU dan sidang MK, hehehe..

Aku harus move on donk ya? Menerima kenyataan bahwa presidenku bukanlah mantan Jendral keren seperti Prabowo, tapi justru rakyat biasa yang belum lama jadi gubernur Jakarta, yakni Pak Jokowi.

Boleh dibilang, selama pemilihan presiden kali ini, antar sodara sendiri banyak terjadi keributan atau perang mental di status medsos, bahkan di dunia nyata juga terjadi keributan-keributan antara pemilih. Oh Baiklah.. itu semua bagian dari proses pembelajaran politik.

Masih jauh dari harapan bisa menjadi negara yang demokratis seperti di barat sana, meskipun aku pribadi gak gitu berharap harus seperti negara lain. Cukuplah Indonesia menjadi negara sendiri, dengan musyawarah mufakat yang menjadi akar kebiasaan berpikir masyarakat selama ini.

Perjuangan Presiden ke 7 Jokowi dan JK masih panjang. Meski ada variasi dan kejutan di kabinetnya, tetap saja konflik dan polemik muncul dari berbagai sudut. Mulai dari kalangan parlemen hingga masyarakat sendiri yang belum bisa move on, atau berusaha menerima kenyataan... bagi kedua belah pihak.

Pelajaran terpenting selama Pilpres berlangsung adalah pertama, kita berhasil membuat sebuah tradisi peralihan presiden yang "aman dan damai". Mengingat sejarah negara ini yang pergantian presidennya tak pernah "nyaman". Selain itu, muncul hal-hal menarik, seperti sikap SBY menerima Pak Jokowi ketika masuk istana negara, menguidenya memutari istana, hingga banyak hal-hal menarik lainnya.

Dan yang kedua, akibat pilpres kali ini, aku jadi kenal karakter teman baik dunia nyata dan dunia maya.... Ini penting... karena aku pada dasarnya menyukai lingkungan yang satu pemikiran, minimal mengarah kebaikan, bukan pengrusakan mental..:). Asyik sih... jadi tahu banyak karakter temen...:D

Baiklah...

Selamat bekerja Presiden baru Indonesia! Kita lihat apa yang terjadi di kemudian hari. Akankah ada kejutan baru? :D




* Semua foto/gambar diambil dari www.pinterest.com